Iklan

terkini

Kisruh Narasi Bandara Internasional Bali Utara, Ada apa Dengan Pemprov Bali

Rabu, 12 November 2025, November 12, 2025 WIB Last Updated 2025-11-24T12:27:09Z


Pernyataan pejabat Pemerintah Provinsi Bali justru menimbulkan keraguan publik. Plt. Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Bali, Nusakti Yasa Weda, menegaskan bahwa Perpres tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan lokasi bandara.



MEDIABULELENG.ID -- Proyek pembangunan Bandara Internasional Bali Utara kembali menjadi bola panas. Padahal, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 telah dengan jelas mencantumkan “Pembangunan Bandara Internasional Bali Baru/Bali Utara” sebagai salah satu program strategis. 


Namun, pernyataan pejabat Pemerintah Provinsi Bali justru menimbulkan keraguan publik. Plt. Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Bali, Nusakti Yasa Weda, menegaskan bahwa Perpres tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan lokasi bandara.


Sontak, komentar ini menuai kritik dari berbagai kalangan, terutama pengamat kebijakan publik Putu Suasta, yang menilai bahwa sikap tersebut mencerminkan ketidakmampuan Pemprov Bali membaca dokumen kebijakan secara utuh - bahkan seolah membuka ruang tawar baru untuk memindahkan proyek strategis itu dari Bali Utara ke wilayah lain di Bali.


Dalam keterangan resminya, Nusakti menyebut bahwa Lampiran IV Perpres 12/2025 tentang Arah Pembangunan Kewilayahan untuk Provinsi Bali memang memuat sejumlah rencana intervensi strategis, termasuk proyek jalan tol, transportasi massal, hingga bandara baru. Namun, menurutnya, 


“Pencantuman Bandara Internasional Bali Baru/Bali Utara dalam Perpres 12/2025 sifatnya masih berupa arahan. Penentuan lokasi dan pelaksanaannya wajib mengikuti ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, termasuk studi kelayakan teknis dan operasional sesuai standar International Civil Aviation Organisation (ICAO).”


Pernyataan ini, menurut pengamat Putu Suasta lagi, dalam konteks politik pembangunan Bali, justru membuka tafsir baru - bahwa lokasi bandara yang selama ini diarahkan ke Kabupaten Buleleng (Bali Utara) masih bisa digeser. Padahal, semangat awal dari Perpres ini - yang disusun Bappenas - adalah pemerataan pembangunan antara wilayah Bali Selatan yang sudah sangat maju, dengan Bali Utara yang selama ini tertinggal secara infrastruktur- berdampak kepada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.



 “Jadi, kalau baca dokumen negara seperti Perpres itu harus dibaca seluruhnya dan dipahami secara utuh,’’ kata Putu Suasta. Menurut dia, pada pasal 2 ayat 8 jelas-jelas tertulis bahwa “RPJM Nasional wajib ditaati oleh seluruh pelaku pembangunan pemerintah dengan melibatkan pelaku pembangunan nonpemerintah”. Artinya, “tidak ada lagi tafsir baru, tidak ada lagi tawar menawar soal lokasi pembangunan Bandara Internasional Bali Utara, ya di Kubutambahan sesuai amanat Perpres,” tegasnya.


Menurut Putu Suasta, posisi Bappenas dalam menyusun Perpres 12/2025 tidak bisa direduksi sebagai “sekadar arahan”. “Perpres itu produk hukum di bawah undang-undang. Artinya, arah pembangunan kewilayahan di Bali sudah dikunci di sana. Bukan ruang negosiasi pejabat,” ujarnya.


Wacana pemindahan lokasi bandara dari Bali Utara ke arah sebelah barat - atau wilayah lain di Bali - bukan hal baru. Belakangan, muncul usulan yang ingin menggeser ke Sumberklampok, yang masih di Kabupaten Buleleng – tetapi lokasinya sangat berdekatan dengan Taman Nasional Bali Barat.


Namun, jika arah kebijakan terus berubah, publik menilai Pemprov Bali membangkang terhadap amanah Perpres No. 12 Tahun 2025, Lebih jauh Putu Suasta – akademisi lulusan UGM yang kemudian melanjutkan sekolahnya ke Cornell University dan New York University - berujar, “Sangat disayangkan jika Plt. Kadis Perhubungan tidak mampu membaca secara utuh maksud dari Perpres itu. 


Dokumen tersebut jelas menyebut Kubutambahan di Bali Utara sebagai lokasi strategis. Kalau kemudian ada tafsir seolah-olah isi Perpres masih berupa arahan dan bisa dipindah ke tempat lain, publik berhak bertanya: ada apa dengan Pemprov Bali?”


Selama dua dekade, pembangunan di Bali cenderung terkonsentrasi di selatan - Denpasar, Badung, dan Gianyar. Akibatnya, ketimpangan ekonomi antarwilayah semakin menganga. Data Bappenas tahun 2024 menunjukkan, 87% PDRB Bali berasal dari wilayah selatan, sementara Bali Utara hanya menyumbang sekitar 8%.


Karena itu, bandara baru di Bali Utara sebenarnya bukan sekadar proyek transportasi, tetapi simbol pemerataan. Ia diharapkan memicu geliat pariwisata alternatif, membuka lapangan kerja baru, dan mengurangi beban lalu lintas di sekitar Bandara I Gusti Ngurah Rai.


 _Risiko Ketidakpastian: Investor Menunggu, Warga Menunggu_ 


Sejak 2020, sejumlah perusahaan lokal dan asing telah menunjukkan minat untuk mengembangkan bandara di Bali Utara, termasuk konsorsium investor dari Kanada dan Tiongkok. Lahan di sekitar Kubutambahan bahkan sempat disurvei untuk analisis geoteknik.


Namun, tarik-menarik kepentingan politik membuat proyek ini tak pernah beranjak dari wacana. Kini, pernyataan Plt. Kadis Perhubungan bahwa “lokasi belum pasti” menambah lapisan ketidakpastian baru. Menurut Putu Suasta, keraguan pemerintah daerah akan berakibat serius terhadap minat investasi. “Siapa yang mau menanamkan modal jika arah kebijakan berubah-ubah setiap pergantian pejabat? Kita bicara proyek triliunan rupiah, bukan proyek kecil,” tegasnya.


Secara hukum, arah pembangunan bandara telah tercantum dalam Lampiran IV Perpres 12/2025, yang memuat peta wilayah Bali beserta intervensi strategisnya. Selain bandara, dokumen tersebut juga menegaskan proyek pembangunan tol konektivitas menuju Bandara Bali Utara. Dengan kata lain, Perpres tersebut sudah memosisikan bandara baru sebagai bagian integral dari koridor pembangunan Bali Utara.


Jika Pemprov Bali tetap bersikeras bahwa lokasi belum ditentukan, maka menurut Suasta akan timbul pertanyaan mendasar: apakah Pemprov tidak memahami makna “arah kewilayahan” dalam perencanaan nasional?


Ketegasan posisi Pemprov Bali dalam proyek strategis nasional seharusnya mencerminkan profesionalitas dan integritas birokrasi. Ketika narasi pejabat justru membuka ruang tafsir baru, kredibilitas pemerintahan daerah ikut dipertaruhkan.


Sebab, publik menilai: jika pemerintah sendiri tidak bisa membaca Perpres dengan benar, bagaimana mungkin ia memimpin pelaksanaan kebijakan yang kompleks seperti pembangunan bandara internasional? Lebih jauh, sikap ambigu ini juga berpotensi memperlambat seluruh rantai birokrasi.


Pada akhirnya, isu bandara ini bukan sekadar soal lokasi, tetapi soal arah pembangunan Bali ke depan. Apakah Bali akan tetap terjebak dalam model pertumbuhan yang timpang - hanya bertumpu pada kawasan selatan - atau berani melakukan redistribusi ekonomi melalui infrastruktur strategis di utara?


Suasta menutup komentarnya dengan nada tegas: “Kalau Pemprov Bali terus bersikap ragu, sejarah akan mencatat bahwa kesempatan besar untuk memajukan Bali Utara hilang bukan karena dana, tapi karena kebingungan birokrasi.” 


Bandara Bali Baru bukan hanya proyek pembangunan fisik, tetapi simbol politik keadilan wilayah. Jika arah kebijakan terus kabur, maka yang terbang lebih dulu bukanlah pesawat, melainkan investor dan kepercayaan publik.(Rilis).

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Kisruh Narasi Bandara Internasional Bali Utara, Ada apa Dengan Pemprov Bali

Terkini

Topik Populer

Iklan

Iklan